Muqaddimah

Alhamdulillah Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita hambaNya berbagai kenikmatan yang mustahil dapat dihitung jumlahnya. Shalawat dan Salam Atas Nabi Muhammad SAW, semoga kita diakui menjadi ummatnya dan mendapat syafa'at di hari kiamat insyaAllah. Inilah sisi lain dari Jihad, jihad yang digambarkan Al Quran dengan dua cara "Bil-Amwal" dan "Bil-Anfus". Mendedikasikan Waktu, tenaga, pikiran dan perasaan untuk menjalankan Dakwah dan Tarbiyah Islamiyah adalah bagian penting dari proses "Jihad" itu sendiri. Semoga Allah Meridho'i Niat dan Amal Perbuatan kita, tetap Istiqomah, Amanah seraya tidak melupakan Muhasabah di setiap detik dan kesempatan.
(Untuk Pendamping hidupku :Farida Shafwatun Nisa, dan Keempat Permata hatiku :Faiq Afiful Azam, Wafa Zirwatul Husna, Wifa Zaniratul Haura, dan Wila Zhafiratul Hania)

Senin, 18 Februari 2013

STUDI HUKUM ISLAM


A.Pendahuluan 
Pembahasan tentang hukum, maka secara sederhana kita berpikir peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat atau peraturan yang sengaja dibuat oleh penguasa dengan bentuk dan cara tertentu. Bentuknya mungkin berupa hukum tidak tertulis maupun hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum produk barat yang dipakai di Indonesia atau peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga Negara yang punya kewenangan untuk menetapkannya. Yang pasti hukum perundang-undangan seperti ini hanya sebatas mengatur hubungan manusia dengan manusia, dengan benda atau lingkungan sekitarnya juga termasuk hubungan manusia dengan negaranya.
Ketika kita mengkaji tentang hukum Islam, aspek yang ada di dalamnya tidak hanya membicarakan tentang hukum (peraturan) yang ada di dalam Islam itu sendiri, tetapi aspek hukum di dalam Islam biasa disebut juga dengan hukum Islam yang punya konsep dasar dan hukum yang ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia dengan yang lain atau benda dalam masyarakat tetapi juga hubungan- hubungan lainnya baik itu hubungan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat serta dengan alam sekitarnya.
Kajian hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan juga sumber-sumber hukum Islam lainnya akan membahas tentang syari’ah, fiqh, ushul fiqh, mazhab, fatwa, qawl dan juga akan disajikan bagaimana Islam sebagai sumber norma, hukum dan etika, mazhab hukum utama dan pendekatan mereka terhadap kajian hukum, disiplin ilmu utama studi Islam  dan cabang-cabangnya, tokoh dan karya terpenting dan juga akan menjawab bagaiamana perkembangan mutakhir kajian hukum Islam.

B. Sekilas Tentang Syari’ah, Fiqh, Ushul Fiqh, Mazhab, Fatwa dan Qawl.
 1. Syari’ah. 
Secara  harfiah, kata syari’ah berasal dari kata syara’a-yasyra’u-syariatan yang berarti jalan keluar tempat air untuk minum.  Dalam definisi lain di katakana bahwa syari’ah pada asalnya bermakna jalan yang lempang atau jalan yang dilalui air terjun.
Menurut Amir Syarifuddin, Syari’ah adalah apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram.
 Para fuqaha memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hambaNya dengan perantaraan Rasulullah supaya para hamba melaksanakan dengan dasar iman, baik hukum itu yang mengenai amaliyah lahiriyah maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan yang bersifat batiniyah. Selanjutnya jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama “hukum fiqh atau hukum Islam” yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf.
 Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum yang lurus yang telah digariskan oleh Allah SWT kepada hambaNya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya dapat diperinci bahwa syari’ah dibagi atas tiga bagian, yaitu:
a.    Bagian yang berhubungan dengan  keimanan atau keyakinan ( akidah ) yang ada dalam Ilmu Kalam
b.    Bagian yang berhubngan dengan pendidikan dan perbaikan moral yang ada dalam Ilmu Akhlak
c.    Bagian yang menjelaskan amal perbuatan lahiriyah manusia yang ada dalam Ilmu Fiqh
Hal senada juga dikatakan Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Syari’ah ialah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya agar manusia berpegang kepadanya dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, dengan saudara sesama muslim, dengan alam semesta dan dengan kehidupan.
2. Fiqh
 Fiqh berasal dari bahasa Arab yaitu faqiha-yafqohu-faqihun, yang artinya mengetahui, memahami sesuatu.  Senada dengan arti fiqh menurut Prof. Dr. Mahmud Yunus yaitu “mengerti, faham, pintar.
Menurut istilah, Fiqh adalah sekelompok hukum syari’at yang berpautan dengan amal perbuatan manusia yang diambil  dari nash Al Qur’an dan As Sunnah, bila ada nash dari Al Qur’an atau As Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Disamping itu, untuk lebih mendekatkan kita kepada pengertian fiqh di atas, ada beberapa ulama memberikan pengertian fiqh, yaitu:
a. Menurut Ibnu Khaldun, fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang wajib, haram, makruh atau yang mubah yang diperoleh dengan jalan ijtihad dari Al Qur’an dan Hadits.
b. Menurut Al-Jalalul Mahalli, fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yang berhubungan dengan amalan dan perbuatan manusia yang jelas dan teratur dalam Al Qur’an dan Hadits
Dari beberapa definisi di atas maka dapat dipahami bahwa fiqh apabila ditinjau dari asalnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fiqh yang sudah jelas dan tegas telah diatur dalam Al Qur’an dan Hadits, kemudian fiqh yang diperoleh atau yang dihasilkan dengan jalan ijtihad.

3. Ushul Fiqh
 Ushul Fiqh terdiri dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fikih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”. Sedangkan Fiqih berarti “pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal”. 
Menurut istilah, pengertian Ushul Fiqh adalah Pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hokum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.   Dengan demikian ushul fiqh adalah ilmu yang digunakan untuk memperroleh pemahaman tentang maksud syari’ah. Untuk lebih mudah kita pahami, Ushul Fiqh adalah sistem (metodologi) dari ilmu fiqh.
4. Mazhab
 Mazhab adalah aliran terkemuka dalam hokum Islam yang dibawa oleh imam tertentu (Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi). Mahmud Yunus mengatakan dalam kamus Arab-Indonesia, mengartikan bahwa mazhab adalah sebagai aliran, doktrin atau ajaran.
 Mazhab berasal dari kata zahaba yang artinya pergi, sedangkan menurut istilah adalah jalan pikiran, paham dan pendapat yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hokum Islam dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Sebahagian ulama mendefinisikan bahwa mazhab adalah pendapat, paham atau aliran seorang alim  besar dalam Islam yang diberi gelar sebagai imam seperti Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Maliki dan Imam Hanafi.
5.Fatwa
Fatwa adalah penjelasan mengenai hokum Islam dan agama sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Secara harfiyah, fatwa berasal dari kata fata yang artinya mencakup makna “masa muda, kebaruan, klasifikasi, penjelasan”. Dalam perkembangan sebagai istilah teknis  yang berasal dari  al Qur’an, kata ini digunakan dalam dua bentuk kata kerja yang artinya “meminta jawaban pasti” dan “memberikan jawaban pasti”.
6. Qaul
Qaul berasal dari bahasa Arab yatiu qola-yaqulu-qoulan, yang berarti perkataan. Menurut istilah adalah suatu perkataan mengenai hokum Islam dan agama setelah ditinjau lebih lanjut mengenai peristiwa yang terjadi. Qaul dibagi menjadi menjadi dua macam, yaitu  Qoul Qodim (pendapat/perkataan lama) dan Qaul Jadid (pendapat/perkataan baru), contoh: Hukum air mengalir yang terkena najis, namun sifat-sifatnya tidak berubah. Qaul Qadim: air mengalir tidak akan menjadi najis, Qaul Jadid: air mengalir hukumnya sama dengan air yang tenang, jika jumlahnya kurang dari dua kullah, maka airnya menjadi najis.
Pembagian Qaul ini juga dikenal  dalam fiqih Imam Syafi’i, yaitu Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat beliau ketika berada di Irak, sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir.    
C. Islam Sebagai Sumber Norma, Hukum dan Etika
Untuk dapat memahami hukum Islam dengan baik, terlebih dahulu harus mempelajari tentang agama Islam. Hal ini disebabkan hubungan antara hukum Islam dengan agama Islam sangat erat dan antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Tanpa mempelajari kaidah-kaidah agama Islam akan sulit untuk mempelajari hukum Islam, sebab setiap kaidah hukum Islam tidak terlepas dari agama Islam.
Ahmad Bangun mengatakan bahwa kata Islam berasal dari bahasa Arab, kata kerja asalnya adalah: Aslama, Salima dan Salama.
Aslama berarti berserah diri kepada Allah SWT, artinya manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya mengakui kelemahannya dan harus mengakui kemutlakan kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun tingginya akal pikiran manusia yang berwujud dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan tetapi semuanya itu jika dibandingkan dengan kekuasaan Allah SWT tidak ada artinya.
Salima berarti menyelamatkan, menentreramkan atau mengamankan. Karena salima memerlukan objek, sehingga kata salima berarti menyelamatkan, menenteramkan dan mengamankan orang lain. Jadi sebagai orang Islam mereka dituntut untuk dapat senantiasa menimbulkan rasa aman, keselamatan dan ketenteraman orang lain.
Salama berarti menyelamatkan, menenteramkan dan mengamankan. Karena salama tidak memerlukan objek luar, maka objeknya adalah diri sendiri atau bathin manusia itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai orang Islam di dalam hidupnya harus selalu merasa tenteram, aman dan selamat dan tidak putus asa dan frustasi apabila menghadapi cobaan-cobaan dan kesusahan dalam kehidupannya
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam sebagai agama lahir dan bathin dan bagi para pemeluknya harus dapat memenuhi tiga asfek di bawah ini, yaitu:
Pertama, hubungan vertikal kepada Allah SWT manusia harus bisa berserah diri dan patuh sepenuhnya kepada Allah SWT.
Kedua, hubungan dengan sesama manusia dan sesama ummat Islam menghendaki adanya hubungan saling menyelamatkan, menenteramkan dan mengamankan.
Ketiga, hubungan dengan diri pribadi, Islam dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan bathin, kemantapan rohani dan mental. Orang yang memeluk agama Islam disebut Muslim.
D. Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka Terhadap Kajian Hukum Islam
1. Mazhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kuffah yang bernama lengkap Nukman bin Tsabit bin Zuthiy pada tahun 80 H (699 M).  Beliau belajar fiqh kepada Hammad Ibnu Abi Sulaiman pada permulaan abad kedua Hijriyah.Beliau banyak mendengar  hadits dari ulama-ulama hadits.
Imam Abu Hanifah seorang pedagang sutera di Kuffah, dalam menekuni pekerjaannya beliau terkenal sebagai seorang yang jujur dalam mu’amalah dan tidak mau tawar menawar dalam penjualan. Setelah beliau terkenal dalam Ilmu Fiqh, banyaklah para penuntut ilmu yang mengambil dan belajar ilmu kepadanya.
Ada beberapa yang menjadi dasar utama dalam Mazhab Abu Hanifah dalam menentukan hukum Islam,yaitu Kitabullah, Sunnah Rasulullah yang shahih dan yang telah mashur diantara para ulama, Fatwa-fatwa para sahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf..
2. Mazhab Imam Malik
Imam Malik yang bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin ‘’Amir Al Ashbahy.  Dilahirkan di Madinah Al Munawwarah tahun 93 H (712 M). kemudian beliau mempelajari ilmu kepada ulama-ulama Madinah. Guru beliau yang pertama ialah Abdul Rahman Ibnu Hurmuz, sangat lama beliau belajar dengannya. Beliau menerima hadits dari Nafi Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az-Zuhri. Gurunya dalam Ilmu Fiqh ialah Rabi’ah Ibnu Abdir Rahman.
Setelah guru-gurunya mengakui bahwa beliau telah ahli dalam soal hadits dan fiqh barulah beliau member fatwa dan meriwayatkan hadits.
Banyak ulama hadits yang menerima hadits darinya dan banyak dari fuqaha yang mengikuti perjalanannya. Malik mempunyai dua sifat, yaitu bersifat ahli hadits dan bersifat mufti serta mustanbit.
Yang menjadi dasar utama Mazhab Imam Malik Ibnu Anas dalam menentukan hokum Islam adalah Kitabullah, Sunnah Rasulullah yang beliau pandang shahih, Ijma’, Qiyas dan Istishlah.
3. Mazhab Imam Syafi’i
Imam Syafi’i yang bernama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Usman bin Syafi’ Asy Syafi'iy dilahirkan di Ghuzzah, satu kampung di sebelah selatan Palestina pada tahun 150 H (767 M).  Beliau mempelajari Ilmu Fiqh kepada Muslim Ibnu Khalid dan mempelajari hadits kepada Sufyan Ibnu Uyainah, seorang guru hadits di Makkah dan juga kepada Imam Malik Ibnu Anas ahli hadits di Madinah.
Mesir merupakan Negara yang nyata dalam kepahaman Mazhab Imam Syafi’i, disanalah beliau membentuk mazhab barunya dan mendiktekan kitab-kitab baru. Sejarah mencatat beliau terus berkediaman di Mesir hingga wafat tahun 204 H (820 M).
Yang menjadi dasar utama Mazhab Imam Syafi’i dalam menentukan hokum Islam adalah Kitabullah, Sunnah Rasulullah beliau mempertahankan hadits ahad selama perawinya dapat dipercaya, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul, Ijma’, Qiyas (beliau menolak Istihsan dan Istishlah) dan Istidlal.
4. Mazhab Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ahmad Ibnu Hambal yang bernama lengkap Ahmad ibn Hilal Asy Syaibani Al Muruzy Al Bughdady dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H (780 M).  Beliau menerima hadits  dari pemiuka-pemuka hadits lapisan Husyaim, Sufyan Ibnu Uyainah. Yang meriwayatkan hadits darinya adalah Bukhari dan Muslim dan orang-orang sesamanya. Beliau bersungguh-sungguh menghafal hadits hingga menjadi ahli hadits dimasanya.
Kemudian beliau juga berguru kepada Imam Syafi’i, selanjutnya berijtihad sendiri sehingga beliau merupakan ahli hadits yang berijtihad. Ada juga para ulama-ulama berguru kepadanya, diantaranya Al-Astram yang telah , menyusun kitab as Sunnah fil Fiqh dalam Mazhab Imam Ahmad Ibnu Hambal.
Yang menjadi dasar utama Mazhab Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam menentukan hukum adalah:
1.  Nash, yaitu Al Qur’an dan Hadits Marfu’
2.  Fatwa-fatwa sahabat
3.  Fatwa sahabat yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Hadits jika fatwa tersebut berlawanan
4.  Hadits Musal dan Hadits Dhaif, apabila beliau tidak mendapatkan yang jelas, beliau berpedoman kepada hadits mursal dan dhaif jika tidak ada yang menolaknya, dan yang dimaksud dengan hadits dhaif disini adalah hadits yang tidak sampai derajatnya kepada shahih, bukan lemah benar.
5.  Qiyas, beiau menggunakan qiyas dikala darurat saja. Apabila tidak mendapatkan hadits atau perkataan sahabat, beliau tidak mau memberikan fatwa dalam suatu masalah yang belum diperoleh keterangannya.
E. Disiplin Ilmu Utama Studi Hukum dan Cabang-cabangnya
Yang menjadi disiplin utama atau sumber dalam mengkaji hukum Islam adalah Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, Qiyas dan Ijtihad.
1. Al Qur’an
Al Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru = yang dibaca.
Al Qur’an adalah sebagai disiplin atau sumber hokum Islam yang pertama dan utama, dia memuat kaidah-kaidah hukum yang fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan diteliti dan dikembangkan lebih lanjut menurut keyakinan ummat Islam. Al Qur’an adalah kitab suci yang memuat wahyu-wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur.
Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa’: 59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS:An Nisa’: 59).
Al Qur’an adalah sumber hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang.
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang Al Qur’an itu berdiri sebagai hujjah (argumentasi) yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu.
2. Al Hadits
Al Hadits adalah disiplin dan sumber hokum Islam yan kedua setelah Al Qur’an berupa perkataan (qouliyah), perbuatan (fi’liyah) dan persetujuan (taqririyah) Rasulullah SAW yang tercatat dalam kitab-kitab hadits, ia merupakan penjelasan yang autentik tentang Al Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai penjelasan terhadap hukum yang terdapat dalam Al Qur’an, kedudukan sebagai penjelas, hadits terkadang memperluas hukum dalam Al Qur’an atau menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah SWT dalam Al Qur’an.
Selanjutnya hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hokum dalam Al Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena untuk itulah Nabi ditugaskan oleh Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri  sebagai sumber kedua setelah Al Qur’an.
3. Ijma’
Kata Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang suatu masalah. Dalam istilah ushul fiqh, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin  dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.
Para ulama telah sepakat bahwa Ijma’ syah dijadikan sebagai sumber dan dalil hukum Islam walaupun diantara mereka masih berbeda pendapat mengenai jumlah kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai Ijma’.
Ijma’ jika dilihat dari dara terjadinya terbagi dua macam, yaitu:
Pertama, Ijma’ Sharih maksudnya semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salahsatunya.
Kedua, Ijma’ Sukuti maksudnya  pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau menolak pendapat tersebut secara jelas.
Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap sebagai Ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan Ijma’ ahlal-Madinah.

Yang menjadi dalil keabsahan Ijma’ sebagai sumber hukum Islam para ulama mengutarakan berbagai argumentasi antara lain:
a. Dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 115, ayat tersebut menjelaskan bahwa mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Kemudian dipahami bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang mukmin yang mengikuti kesepakatan mereka.
b. Hadits Rasulullah, riwayat Abu Daud dan Tirmizi
Artinya: Dari ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummatku atau beliau berkata ummat Muhammad atas kesesatan. (HR. At-Tirmizi)
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah, Ijma’ Sukuti tidak dapat dijadikan landasan hukum, karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi disebabkan takut terhadap penguasa atau sungkan menantang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu lebih senior. Sedangkan di kalangan Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ Sukuti syah dijadikan sumber dan landasan hukum, karena diamnya sebagian mujtahid dipahami  sebagai persetujuan, apabila mereka tidak setuju dalam satu masalah harus dikeluarkan pendapat yang tegas dari mujtahid tersebut.

4.  Qiyas
Menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqih, Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Kehujjahan Qiyas menurut mazhab jumhur ulama Islam, bahwasanya qiyas merupakan hujjah syar’iyyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyah). Ia menduduki peringkat keempat diantara hujjah-hujjah syar’iyyah, dengan pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash ( Al Qur’an dan As Sunnah) dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hokum ini, maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum dengan hukumnya, dan hukum ini merupakan hukumnya menurut syara’. Seorang mukallaf harus mengikutinya dan mengamalkannya, mereka ini dikatakan sebagai orang-orang yang menetapkan qiyas.
5.  Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata “jahada” artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. 
Secara terminology, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
Dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan Ijtihad adalah penerapan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum Islam sampai ke tingkat dzanni (dugaan besar) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu. Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan bahwa Ijtihad adalah pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum Islam.
Menurut Muhammad Taqiyu al Hakim, Ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ijtihad  al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berfikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya menjaga kemudaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dll.
2. Ijtihad Syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas,, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dll.

F. Tokoh dan Karya Terpenting
1. Imam Syafi’i
Mayoritas ulama menyebutkan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun Ilmu Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, jelas dan sistematis yang tertuang dalam kitabnya ar-Risalah.
Namun demikian, Imam Syafi’i bukanlah penemu orisinil ushul fiqh, akan tetapi lebih bersifat menyusun ilmu ushul fiqh yang berdasarkan sumber-sumber dan praktek yang telah ada sebab secara praktis kaidah-kaidah tersebut telah eksis sebelum periode Imam Syafi’i dan telah dilakukan oleh para mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah dengan konsep Istihsan, Imam Malik yang konsisten terhadap konsep Ijma’ penduduk Madinah. Kerja yang dilakukan Imam Syafi’i adalah penyusunan sehingga merumuskan konsep-konsep dan kaidah-kaidah serta methodology perumusan hukum menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
Tulisan-tulisan Imam Syafi’i yang termasyhur seperti: al-Umm (Fiqh), ar-Risalah (ushul Fiqh), Ikhtilaful Hadits (Hadits) dan Musnad (Hadits).
Kitab al-Umm, berisikan tentang fiqh dan juga menulis beberapa asfek dari ushul Fiqh, seperti perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kedudukan hadits  sebagai sumber hukum, istihsan, dll.
Kitab Risalah, berisikan tentang hal-hal yang primer dari pembahasan Ushul Fiqh, kedudukan Al Qur’an dan cara bagaimana Al Qur’an menjelaskan dan melahirkan hukum-hukum syara’, tantang nasakh mansukh, khabar ahad dengan kedudukannya dalam kaidah hukum, ijma’, qiyas, istihsan dan khilafiyah di kalangan para ulama juga ditulis dalam kitab ini.
2. Pasca Imam Syafi’i   
Para ulama di zamannya telah menerima pemahaman Imam Syafi’i dengan berbagai reaksi mengikut sikap dan aliran masing-masing. Dalam perundang-undangan Islam. golongan yang menerima secara utuh adalah murid-murid beliau dan mereka inilah kemudian yang menulis lebih lanjut berdasarkan pendapat Imam Syafi’i. Mereka adalah Abu Ishak Ibrahim Ibn Ahmad al-Marwazi yang menulis buku “al Fushul fil Ma’rifat al-Ushul” dan Abu Bakar Muhammad ibn Abdullah al-Saibari yang menulis buku “Dalail al-Um ‘ala Ushul al Ahkam” 
Dalam kajian ushul fiqh selanjutnya, para ulama terbagi kepada dua aliran yaitu aliran Asy Syafi’iyah dan Hanafiyah.
G. Perkembangan Mutakhir Kajian Hukum Islam
Pembahasan  perkembangan mutakhir kajian hukum Islam pemakalah fokuskan kepada fase kebangkitan Fiqh sampai sekarang di dunia secara umum dan Indonesia khususnya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, periode Kebangkitan Fiqh ini disebut juga periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke-13 H sampai abad ke-20 M.
Disebut periode kebangkitan fiqh, karena pada masa ini timbul ide, usaha dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam ummat Islam dan dalam Ilmu Pengetahuan Islam, salah satu penyebab timbulnya gerakan ini setelah munculnya kesadaran ummat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin yang disebabkan oleh adanya penetrasi barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negeri Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan terakhir dalm pengkajian Islam ini terjadi setelah adanya persentuhan budaya dengan barat. Di awal perkembangan mutakhir dalam hukum Islam di mulai di Turki dan Mesir yang menyadari bahwa Islam semakin tertinggal dari Barat, maka mulai saat itulah muncul tokoh-tokoh dalam Islam yang mencoba mereformasi hukum Islam dengan mengangkat tema bahwa pintu Ijtihad telah terbuka demi perkembangan Islam dari zaman-ke zaman.
Pada era kebangkitan fiqh ini ada dua kecenderungan pemikiran hukum Islam, yaitu:
Pertama, munculnya kecenderungan baru dalam mengkaji fiqh Islam tanpa harus terikat dengan mazhab imam tertentu.
Kedua, berkembangnya kajian fiqh muqaran (fiqh perbandingan). Perbandingan tidak hanya terfokus pada internal mazhab-mazhab fiqh melainkan merambah perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif barat.
Mustafa Ahmad Az-Zarqa mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga cirri yang mewarnai perkembangan hukum Islam (fiqh) pada periode ini, yaitu:
1.  Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman.
2.  Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani.
3. Munculnya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada masa modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Hasilnya ketegangan antara pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal kedua tokoh ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri aliran Wahabi) dan Muhammad bin Ali As-Syaukani.
Di Indonesia sendiri, pengkajian hukum Islam terus berkembang yang ditandai dengan didirikannya IAIN serta banyaknya universitas-universitas swasta yang mengkaji Islam di berbagai daerah di Indonesia khususnya Fakultas Syari’ah yang benar-benar kajian utama dari fakultas ini adalah hokum Islam. Selain itu ada juga MUI yang selalu memberikan fatwa yang sesuai dengan keadaan Islam di Indonesia dalam memberikan istinbat hukum sesuai dengan masalah yang ada serta majelis-majelis lainnya di setiap organisasi Islam di Indonesia. Hal ini merupakan karya yang penting bagi ummat Islam Indonesia serta perkembangan yang baik dalam pembaharuan hukum Islam. Selanjutnya perkembangan yang paling besar tentang kajian hukum Islam  adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fiqhnya Indonesia serta telah banyaknya dimulai pembentukan undang-undang di Indonesia berazaskan hukum Islam.
Eksistensi hukum Islam di Indonesia juga diawali dari sejarah yang panjang, sepanjang republik ini berdiri. Ketika the founding father merumuskan dasar Negara dan menentukan hukum dasar bagi Negara Indonesia mereka berkomitmen terhadap hokum Islam dapat teraplikasi dalam Negara Kesatuan RI dengan lahirnya “Jakarta Charter atau Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945, dalam piagam tersebut dinyatakan “Negara berdasarkan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Melalui perdebatan yang seru dan kompromi, dalam Pembukaan UUD 1945 diputuskan rumusannya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kekecewaan ummat Islam terobati dengan lahirnya Dekrit Presiden 1959, yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.
Tahun 1964 lahir UU No. 19/1964 yang menyatakan ada empat lingkungan peradilan, yaitu:peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan PTUN.
Pada tahun 1965, ada UU No. 13/1965 menentukan Mahkamah Agung terdiri dari kamar perdata, kamar pidana dan kamar Islam. Perkembangan terakhir Pengadilan Agama berada di Mahkamah Agung dan itu berarti dia disejajarkan dengan pengadilan umum yang ada di negeri ini.

H. Penutup dan Kesimpulan   
Dari pembahasan Kajian Hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, maka pemakalah secara sederhana dapat menyimpulkan beberapa hal penting, sebagai berikut:
1. Syari’ah adalah hukum-hukum yang digariskan Allah SWT kepada hambaNya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Fiqh adalah paham yang mendalam. Secara definitive, Fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil tafshili.
3. Islam sebagai agama  lahir dan bathin, bagi para pemeluknya harus dapat memenuhi tiga asfek, yaitu hubungan vertikal kepada Allah SWT, hubungan dengan sesama manusia dan sesama ummat Islam menghendaki adanya hubungan saling menyelamatkan, menenteramkan dan mengamankan dan asfek yang ketiga adalah hubungan dengan diri pribadi, Islam dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan bathin, kemantapan rohani dan mental.
4. Hukum Islam bertujuan untuk menjaga agama (hifdz din), menjaga jiwa (hifdz nafs), menjaga keturunan (hifdz nasab), menjaga harta (hifdz mal) dan menjaga akal (hifdz ‘aqal).
5. Disiplin dan Sumber Hukum Islam adalah Al Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, Qiyas dan Ijtihad.
6. Disiplin dan Sumber Hukum Islam yang paling pokok adalah adalah Al Qur’an dan Al Hadits, sedangkan cabang yang disepakati adalah Ijma’ dan Qiyas dan yang belum disepakati adalah Istihsan, Urf, Maslahah Mursalah, Istishab, Mazhab Sahabat, Syar’i man Qablana dan Suddu dzariyah.
7. Mazhab yang terkenal dalam Hukum Islam adalah Mazhab Imam Abu Hanifah, Mazhab Imam Malik Ibnu Anas, Mazhab Imam Syafi’i dan Mazhab Imam Ahmad Ibnu Hambal.
8. Perkembangan Mutakhir Kajian Hukum Islam bangkit dari tidurnya setelah beberapa abad pulas pada era kemunduran seiring dengan mundurnya kekuasaan Islam.
Kajian Hukum Islam mulai bangkit kembali pada abad ke 13 H sampai abad ke 20 M dan berlanjut sampai dengan sekarang sampai ke Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardlawy, Yusuf. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Ansari. Peranan Imam Syafi’i Dalam Membina Kelahiran Ushul Fiqih. Artikel.
AR, Hasbi, Perbandingan Mazhab. Medan: Naspar Djaja, 1985.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
As-Siddiqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1957.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir. Jakarta Bulan Bintang, 1954.
Azis Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Bangun, Ahmad. Ringkasan Hukum Islam. Medan: Zai Grafika Publishing, 2010.
Chalil Munawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Exposito, Jhaon L. Ensiklopedi Oxford. Bandung: Mizan, 2002.
.Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.
Ma’luf, Luis. Al-Munjid fil  Al-Lughah Al-‘Alam, Beirut: Daar Masyriq, 1986.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah dan Syari’ah. Jakarta: Pustaka Amani Press, 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1977.
Yahya, Mukhtar, Fatchurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al Ma’arif, 1983.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wal Dzyrriyyah, 2010.
   



















   

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...